Ibu, maafkan aku..
Membaca judulnya saja sudah cukup memenuhi rasa ingin
tahuku tentang kesalahan apa yang membuat seseorang mengatakan itu. Sebuah permohonan
sekaligus ampun atas betapa besarnya pengorbanan dan kerja keras seorang ibu
pada anak-anaknya yang selalu gagal untuk dibalas oleh seorang anak
bagaimanapun caranya.
Film yang dibintangi oleh aktris senior Christin Hakim
ini sukses menguras simpati sekaligus empatiku pada seorang ibu yang diperankan
olehnya. Diawali dengan sebuah pemandangan bentang alam yang begitu menawan di
sebuah pedesaan di Yogyakarta, namun ternyata keindahan menyimpan begitu banyak kedukaan yang
dirasakan oleh sosok seorang ibu yang mesti menjadi tulang punggung keluarga
setelah ditinggal mati suaminya. Tinggal di kaki gunung batu dengan tebing-tebing
yang begitu kokoh berdiri menghadap ke langit membuat ibu begitu keras berjuang
menjalani hari-harinya demi menyekolahkan tiga anaknya. Pilihan pun jatuh pada
pemecah batu-batu kali yang berada di dekat rumah tinggal limasnya. Tentu bukan
karena pilihan yang diharapkan melainkan karena hanya ada pilihan itu
satu-satunya. Memecah batu yang keras dengan tubuh tuanya yang lemah. Begitulah
perjuangan meskipun ibu sendiri tahu bahwa batu-batu yang dipecahkannya tidak
akan mungkin berubah menjadi bongkahan emas atau permata. Tapi setidaknya dari
batu-batu yang dipecahkannya itulah ketiga anaknya bisa terus bersekolah dan
menjadi jalan untuk meraih cita-cita mereka. Lelah tak dirasa, sakit tak
dihirau begitulah ibu. Yang dihiraukannya hanyalah ketiga anaknya yang mesti
terus belajar dan menenangkan perut yang kosong.
Sepeninggal ayahnya, Mas Banyu anak laki-laki yang
paling tua mengambil tugas sebagai pilot dalam keluarga. Sementara itu, kedua
adiknya mau tidak mau harus mengikuti karakter Mas Banyu yang tegas dan keras dalam
menjaga dan melindungi kedua adiknya. Gendhis, adik perempuan Mas Banyu menjadi
adik perempuan yang paling diperhatikan oleh Banyu. Meskipun keduanya sama-sama
bersekolah di sekolah yang sama (SMA) namun tidak berarti Banyu mengurangi
perhatian ke adiknya. Apalagi sejak perkenalan Gendhis dengan seorang teman SMA
bernama Panji yang menyukainya, Banyu pun melindungi adiknya ekstra keras
melindungi adiknya dari pengaruh buruk pacaran. Konflik mulai terjadi diantara
keduanya karena Banyu yang terlalu keras. Sementara itu, Satriyo adiknya yang
paling kecil hanya bisa menuruti kemauan kakaknya dengan pasrah. Sang Ibu pun
mulai goyah melihat anak-anaknya yang selalu ribut di rumah. Namun begitu, konflik yang dialami anak-anaknya tidak membuat ibu goyah dalam memecah
batu. Pekerjaan itu harus terus berjalan karena tanpa memecah batu, bisa jadi
keluarga ini akan jauh lebih goyah. Keinginan ibu hanyalah menlihat
anak-anaknya berhasil meraih cita-cita mereka. Banyu dengan pilot sebagai
tujuannya dan Gendhis dengan dokter sebagai targetnya. Sementara itu, Satriyo
hanya berkeinginan menjadi prajurit yang selalu siap melindungi ibunya.
Hari-hari pun dilewati ibu tanpa absen dari memecah
batu sampai tiba saatnya Banyu lulus dari SMA dan mendapat peringkat 3 terbaik
di Yogyakarta. Raihan itu pun membuat kegembiraan yang luar biasa dalam diri
Banyu. Cita-citanya menjadi pilot pun semakin kuat. Dia pun mengutarakan
keinginannya untuk sekolah pilot di Jakarta. Ibu tak begitu setuju dengan
rencana Banyu karena dengan pilihan itu berarti Banyu pergi darinya. Namun tekad
Banyu sudah kuat, tanpa bercerita apapun sebelumnya Banyu akhirnya memutuskan
untuk pergi ke Jakarta menumpang kendaraan milik warga. Inilah adegan paling
mengharukan dalam film ini.
Ibu tak kuasa menahan kepergian Banyu. Dalam dekapan
Banyu yang dalam dan permohonan doa yang tulus, air matapun tumpah pada
keluarga ini. Gendhis dan Satriyo hanya memandang kosong antara bulir-bulir air
mata yang perlahan jatuh. Tergopoh-gopoh ibu jalan menuju kamar mencari segala
sesuatu yang kiranya bisa menjadi bekal buat Banyu. Namun, Banyu pun
terburu-buru pergi karena sudah ditunggu mobil di seberang jembatan. Adegan kejar-mengejar
dalam pesawahan pun terjadi. Sang ibu tak kuasa mengejar laju Banyu yang sigap
berlari mengejar mobil. Ibu pun hanya jatuh dalam tangisan yang tak
terbendungkan. Bekal tak dapat disampaikan pada Banyu, namun doa dalam hatinya
tak pernah putus.
Kepergian Banyu pun menjadi awal dari sunyi yang
perlahan mulai menjadi teman ibu di rumah. Tak berapa lama kemudian Gendhis pun
lulus dari SMA dan memohon izin pada ibu untuk bisa kuliah di kota Yogyakarta. Lagi-lagi
keputusan sulit pun mesti diambil ibu. Tak ada pilihan lain kecuali membiarkan
Gendhis meraih cita-citanya menjadi dokter. Sepi semakin dirasakan oleh ibu
karena sekarang tinggallah dia bersama Satriyo si bungsu yang masih SD. Ada rasa
bangga atas raihan anak-anaknya yang bisa meraih pendidikan tinggi sekaligus
rasa sendu yang tak bisa ditolak. Ditinggalkan anak bukanlah keinginan sang ibu
biarpun dengan tujuan yang baik. Tak ada yang bisa menggantikan hadirnya
pertemuan anak dan ibu, sama sekali tak ada. Dalam tubuhnya yang semakin renta,
matanya yang kian kabur bahkan sulit untuk melihat, ibu terus berjuang sampai
dengan kabar baik dari Banyu dan Gendhis pun datang. Banyu sudah berhasil
menjadi pilot dan Gendhis sudah selesai kuliah dan tugas sebagai dokter di
Yogya.
Yang menarik adalah ketika si bungsu Satriyo justru
tidak naik kelas di tengah kakak-kakaknya yang telah menjadi pilot dan dokter. Namun
dengan bijak ibu justru menghibur Satriyo dan berkata, “Langit tak akan runtuh
jika kamu tak naik kelas kan. Setiap anak punya kelebihannya masing-masing.
Yang terpenting kamu tidak tinggalkan salat lima waktu.” Begitulah ibu pandai
menghibur diri sekaligus menghibur anak-anaknya.
Rasa bangga tak bisa ditolak, namun hadirnya sekaligus
dengan rasa rindu yang sulit juga dibendung. Tubuh yang renta terpaksa mesti
menanggung rindu pada anaknya sendiri sampai akhirnya ibu pun tak kuasa
bertahan dan jatuh. Banyu dan Gendhis yang berada di luar kota pun segera
pulang dan tak bisa menahan kesedihan mereka yang gagal untuk menemui sosok ibu
yang masih sehat seperti dulu. Tubuh tuanya jelas menggambarkan kerja kerasnya
setiap hari dalam memecah batu. Sampai keduanya tersimpuh dalam pangkuan ibu
yang terbaring sakit pun, ibu tak juga berbicara dan membuka mata. Hanya penyesalan
yang merajai perasaan mereka. Apalagi setelah Satriyo memperdengarkan rekaman
suara ibu sebagai pesan pada keduanya yang belum sempat tersampaikan.
Mengejar cita-cita memang mulia, namun lebih mulia
lagi mengejar kebahagiaan orang tua khususnya ibu. Seringkali ibu memang
memendam rasa sakit demi melihat anak-anaknya bahagia, itulah yang tidak pernah
bisa tergantikan oleh seorang anak. Kesibukan seringkali melalaikan pada kerja
keras dan pengorbanan seorang ibu. Temuilah, berkabarlah, dan berceritalah pada
ibu. Rengkuhlah bersama ibu apa yang akan dan sudah kamu dapatkan atas
perjuangannya. Gunung batupun dipecahkannya demi melihat anak-anaknya meraih
cita-citanya. Lalu apa yang bisa kamu lakukan deminya?
Buat kamu yang sedang jauh dari ibu, film ini tentu
akan menguras habis air matamu, memaksamu untuk segera pulang dan mengucap, “
Ibu, maafkan aku!”